Sungguh aneh!
Akhir-akhir ini Ayah sering pulang cepat dan selalu perhatian kepadaku. Setiap dia pulang dari tugasnya di luar kota, dia selalu membawakanku oleh-oleh, padahal biasanya dia lupa dan beralasan tidak punya waktu untuk membeli barang-barang tersebut. Tapi, lebih mengherankan lagi, setiap pulang kerja, Ayahku selalu senyum-senyum sendiri.
Apa mungkin Ayahku “jatuh cinta lagi?!! No way!”
“Apanya yang no way?” Mark yang sedang asyik baca majalah terkejut mendengarku berteriak.
“Gak. Bukan apa-apa..”
“Dasar cewek gila, ngomong sendiri,” Dia kembali melanjutkan ritualnya membaca majalah.
“Ehehee.. Peace!”
Apa memang mungkin Ayahku jatuh cinta lagi? Ah, gak mungkin, Ayahku gak mungkin jatuh cinta lagi. Dia sudah berjanji padaku untuk berusaha tidak jatuh cinta pada wanita manapun. Terakhir kali dia minta izin kepadaku pada waktu aku berumur 10 tahun, dan sekarang umurku 15 tahun. Waktu itu dia minta izin kepadaku untuk menikahi Tante Lucia, seorang sekretaris di kantornya. Tante Lucia memang cantik, tapi aku tidak meyukainya-sebab dia terlalu cantik, aku takut ketika Ayahku menikah dengannya nanti aku dan Mark akan dicampakkan begitu saja-dan aku berkata pada ayahku bahwa aku belum, dan mungkin tidak ingin mempunyai ibu tiri.
“Mark, kamu ngerasa gak, ada sesuatu yang Ayah sembunyiin dari kita?” tanyaku kepada Mark, kakakku yang dicap ‘Playboy’ di kampusnya. Memang kakakku yang satu ini cukup tampan, coba bayangkan seorang cowok dengan wajah blasteran, China-Amerika-Indonesia (almarhumah ibuku seorang wanita blasteran China-Amerika, sedangkan ayahku seorang warga Negara Indonesia asli), body-nya keren, gayanya simple (but perfect), jadi gak heran cewek-cewek di kampusnya pada kepincut sama dia.
“Apa maksudnya?”
“Ya, aku ngerasa aneh aja. Akhir-akhir ini Ayah selalu perhatian sama kita, suka senyum-senyum sendiri kalo abis pulang kerja. Kamu gak merhatiin Ayah ya?”
“Iya sih, aneh juga. Paling-paling Ayah lagi jatuh cinta sama seseorang,”
jawabnya ringan.
“Tuh kan!? Ayah jatuh cinta lagi!?” Teriakku histeris.
“Ngapain sih kamu pake teriak-teriak gitu? Biasa aja deh.”
“Biasa aja gimana? Emangnya kamu mau punya ibu tiri? Please deh, aku gak mau punya ibu tiri.”
“So?”
“Iiiih kamu ini gimana sih? Ya, kita harus mencegah Ayah supaya gak terlanjur jatuh ke cinta yang dalam. Biar ayah gak terlanjur mau nikah sama wanita itu,” Mark itu jengkelin banget sih. Huh.
“Belum tentu juga tebakan kita benar, Juju.. Tenang aja deh. Ntar kalo tebakan kita benar, kita cegah Ayah habis-habisan, biar dia gak jadi nikah sama wanita itu.”
“Bener nih Mark?”
“Gak,” jawabnya sambil kembali membaca majalah mingguan yang tadi dibacanya.
“Huuuuh, Mark! Nyebelin banget sih jadi orang. Untung kamu kakakku, kalo bukan..”
“Kalo bukan apa?” tanya Ayahku yang tiba-tiba datang dan memotong pembicaraanku dan Mark. Dia tersenyum dan berkata lagi “Felish datang tuh, nyariin kamu. Dia ada di ruang tamu.”
“Hah? Ngapain dia sore-sore gini datang?” Aku langsung meninggalkan Ayah dan Mark di ruang keluarga dan langsung menuju ke ruang tamu.
Tidak ada siapa-siapa di ruang tamu, apa mungkin? Hantu?? “Wuaaaaaa,” aku berteriak dan berlari ke ruang keluarga. Tapi langkahku terhenti ketika seseorang memanggilku dari belakang, Felish.
“Julia?”
“Felish? Kamu dari mana? Tadi kata Ayah, kamu ada di ruang tamu, tapi tadi kamu gak ada. Aku kira tadi ada hantu yang nyamar jadi kamu terus bilang ke ayahku kalo kamu nyariin aku dan nunggu aku di ruang tamu. Jadi..” aku menjelaskan panjang lebar.
“Dasar Juju, mana ada hantu sore-sore gini,” dia tertawa mendengar penjelasanku tadi.
“Ummm, eh udah deh ketawanya. Gak lucu. Oh ya! Trus? Ngapain kesini?”
“Oh iya, aku kesini mau ngajakin kamu ke toko buku. Mau kan? Cepetan gih ganti baju, dandan yang cantik, biar aku gak malu bawa cewek.”
“Humph…. Iya iya.”
“Cepetan..”
“Iya…” jawabku malas.
“Yang cantik dandannya.”
“Iiiih. Iya sayaaaaang..” jawabku.
Aku langsung menuju ke kamar mandi, sedangkan Felish menunggu sambil ngobrol dengan Mark. Mereka memang sering ngobrol dan mereka sama-sama cocok. Biasanya mereka membicarakan cewek-cewek, sekolah, dan kadang Mark menceritakan aku yang sering telat bangun, sering ketiduran, dan bahkan sering diomelin oleh ayah karena ceroboh melakukan sesuatu.
Sampai-sampai suatu hari Mark pernah menceritakan aku yang dihukum oleh guru gara-gara tidak membawa tugas yang diberikan dan aku malah membawa majalah pria dewasa milik Mark, bukannya membawa buku pelajaran. Aku dimarah oleh guru dan hampir di-skor selama 3 hari. Untunglah Mark datang dan menjelaskan semuanya kepada guruku. Itu gara-gara aku bangun kesiangan dan saking terkejutnya aku memasukkan majalah kakakku yang tergeletak di rak bukuku, aku salah bawa buku! Jadi, sebagai ganti hukumannya, aku ditugasi untuk membersihkan seluruh WC sekolah. Pokoknya hari itu adalah ‘The Worst Day In My Life’.
Akhirnya, aku selesai mandi dan berhias. Aku memakai kemeja putih bergaris biru, jeans biru dan sepatu santai yang senada dengan bajuku. Segera aku mengambil tas dan menuruni tangga menuju ke taman belakang, tempat dimana Mark dan Felish berbincang. Baru sampai di lantai bawah, suara Mark dan Felish sudah terdengar. Mereka tertawa cekikikan. Pasti Mark cerita tentang aku, dasar Mark!
“Ayo Felish!” aku langsung menarik tangan Felish dan menoleh ke arah Mark, “Mark! Awas ya!”
Mark hanya tersenyum ke arahku, “Peace!”
…………………
Aku dan Felish sedang berada di Gramedia, toko buku terbesar di kota kami. Felish berencana membeli novel dan komik, begitupun aku. Kami berdua memang menyukai komik dan novel. Pertama kali kami bertemu juga di toko ini. Saat itu kami berebut salah satu novel karya J.K. Rowling, Harry Potter and The Deathly Hallows. Pada saat itu novelnya tinggal satu, sedangkan dia-dan bahkan aku, sudah sangat menginginkan novel itu. Akhirnya setelah terjadi perang antar mulut, Felish memilih untuk mengalah. Dan, sebagai rasa terimakasihku karna dia udah mau mengalah, aku mengizinkannya untuk meminjam novel Harry Potter yang kami perebutkan. Aku memberinya nomor ponselku agar disaat dia ingin meminjam novelku dia bisa menghubungiku. Lama kelamaan, kami makin dekat, sering beli novel dan komik bareng, hang out bareng, telpon-telponan dan banyak deh. Kami juga saling curhat. Dan akhirnya setelah 1 tahun berteman akrab, dia menyatakan rasa cintanya kepadaku dan terus terang, aku juga mencintainya.
Setelah berkeliling-keliling mencari novel dan komik selama 2 jam, aku dan Felish berniat untuk segera pulang karna sekarang arlojiku sudah menunjukkan pukul 17.00. Setelah membayar ke kasir kami segera menuju pintu, tapi tiba-tiba Felish teringat sesuatu.
“Juju, aku lupa bilang ke kamu. Kak Mark tadi nitip novel sama kita, novel ‘The Breaking Dawn’. Aku ke dalam lagi ya beli novelnya, kamu mau ikut atau nunggu di sini?”
“Aku ikut aja deh.”
Kami pun kembali masuk ke toko tersebut, kami berpencar, Felish ke tempat bagian Novel, sedangkan aku ke bagian komik. Tiba-tiba mataku tertuju ke sebuah komik bergambar sepasang remaja yang serasi di sampulnya. Ketika tanganku hampir menyentuh komiknya, ada tangan seseorang menyentuh tanganku dan sepertinya dia juga menginginkan komik itu.
“Maaf, itu komik aku,” segera aku memberitahu ke orang tersebut.
“Jelas-jelas ini komik ada di tanganku, jadi ini komik aku,” bantah laki-laki tersebut.
“Tapi aku yang duluan mo ngambil komik itu, tiba-tiba kamu langsung ngambil.”
“So?”
“So? Kembaliin komik aku! Cepat!”
Dia langsung berbalik dan berjalan menuju kasir.
“Heh! Cowok berbaju biru! Kembaliin komik aku!” aku berteriak ke arah laki-laki itu tanpa memperdulikan tatapan heran orang-orang. Tapi laki-laki tersebut malah mempercepat langkahnya dan pergi meninggalkan aku, “Huh, dasar cowok gak sopan!”. Setelah dia membayar kasir dan keluar, Felish pun datang menghampiriku dan langsung mengajakku pulang.
“Juju, ayo pulang. Udah sore nih, ntar aku dimarahin Ayah kamu lagi gara-gara pulangnya lama. Udah dapat komik yang dicari?”
Aku menggelengkan kepala lalu menariknya pergi keluar toko tersebut. Aku bad mood!
…………………
Kami sudah sampai di rumahku. Dalam perjalanan, aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Felish pun hanya bisa terdiam dari tadi.
“Dah, sayang. Jangan manyun dong bibirnya, gak cantik lho kalo gitu. Senyum dong Juju..” Felish yang dari tadi menyadari kalo aku sedang bad mood itu langsung pamit pulang kepadaku. Felish memang selalu ngerti keadaanku. Setelah aku menjawab ‘iya’ dia pun langsung memacu motornya dengan kecepatan tinggi, dia takut diomelin orang tuanya gara-gara pulang kelamaan.
Setelah aku masuk ke rumah, kulihat Mark sedang asyik nonton TV dan Ayahku sibuk dengan netbooknya. Aku langsung menuju ke kamar dan berbaring ke tempat tidur. “Huh, cowok yang menyebalkan!” gumamku ketika teringat kejadian tadi di toko buku. Tiba-tiba bel rumah berbunyi, dan terdengar suara seorang wanita, jangan-jangan!? Aku langsung menuju ke ruang tamu dan kulihat disana duduk seorang wanita seumuran ayahku-mungkin lebih muda 2 tahun-mengenakan dress merah yang cantik, sepatu high heels, dan rambutnya yang ikal mayang terurai sampai ke punggungnya.
Ayahku datang dari kamarnya mengenakan kemeja dan celana hitam kesayangannya, dari tempatku berdiri sudah tercium wangi dari parfum Ayah.
Oh no! Ayahku dan wanita itu akan makan malam berdua!
“Hai nona manis, kamu pasti yang namanya Julia ya?” sapa wanita itu kepadaku.
“Ehm, eh, iya tante. Tante siapa ya? Ayah belum pernah menceritakan tante ke aku.”
“Maaf sayang, Ayah lupa cerita ke kamu. Kenalkan, ini Tante Julia,” Ayah memotong pembicaraanku dengan wanita tersebut. Apa? Nama kami sama? Oh My God! Wanita itu lalu mengulurkan tangannya, dan aku menerimanya dengan berat hati. “Oke, nanti lagi kalian ngobrolnya ya. Ayah dan Tante Julia akan pergi keluar sebentar.”
“Oh, iya iya.” Kulihat mereka pergi menggunakan mobil Tante Julia. Ayahku terlihat sangat bahagia malam itu. Begitu juga Tante Julia. Aku harus memberitahu Mark!
“Mark!”
“Udah tau..” jawabnya santai ketika aku menghampirinya yang sedang nonton film ‘Avatar’, “tante itu kan?”
“Eh, um, iya. Soal tante itu.”
“Trus mau gimana? Aku sih gak masalah kalo Ayah mau nikah lagi.”
“Pokoknya kamu harus nolong aku untuk misahin Ayah sama tante itu, titik. Kalo gak,” aku sengaja memotong ucapanku.
“Kalo gak apa?” tanyanya sambil menoleh ke arahku-padahal dari tadi dia gak perduliin aku.
“Kalo gak… Aku bakal kasi tau ke Ayah tentang majalah-malajah kamu.”
“What? Majalah yang mana? Ayah gak ngelarang aku tuh untuk baca majalah.”
“Oh ya?? Majalah yang waktu itu kubawa ke sekolah dan aku hampir di-skor selama 3 hari. Masih ingat Tuan Mark?” jawabku sambil mengancam Mark.
“Oh itu. Dasar Juju. Iya iya, aku bantuin kamu.” Jawabnya terpaksa.
“Ahahaha, thank’s Mark! You are the best brother ever!” aku langsung pergi meninggalkan Mark dan segera menuju ke kamar untuk membuat rencana yang kuberi judul ‘Juju’s plan to canceled her daddy’s married’. Setelah sampai di kamar, tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Wuaa, aku lupa ngerjain tugas dari Pak Deddy!”
……………………………
Sinar matahari pagi membangunkanku dari tidurku. Jam weker sudah menunjukkan pukul 06.20. “Wuuaaaa! Kesiangan!”. Segera aku menuju ke kamar mandi, setelah itu aku langsung memakai seragamku dan berhias sesederhana dan secepat mungkin. Aku langsung mengemaskan buku untuk pelajaran hari ini, aku tidak mau masalah kemarin terulang lagi, salah membawa buku. Setelah minum segelas susu dan makan sepotong roti aku pun bergegas ke mobil, di sana Mark telah menungguku-karena setiap hari dialah yang mengantarku ke sekolah-makanya dia sudah tau jadwal aku berangkat sekolah.
“Cepet Mark, udah jam berapa nih!” seruku ketika sudah berada di dalam mobil.
“Perasaan, aku yang nunggu kamu dari tadi deh, kok malah kamu yang nyuruh aku cepat.”
“Iya deh terserah, pokoknya kita harus pergi sekarang. Cepat Mark, pease!”
“Oke, kita melaju sekarang!” Dia menghidupkan mobil dan langsung melesat ke jalanan.
Sekarang sudah pukul 07.01, semenit lalu bel sekolah dibunyikan. Untung Mark adalah seorang pembalap yang handal, hanya dalam waktu 10 menit saja kami sudah sampai di sekolah, yang pastinya dengan selamat.
“Thank’s Mark!” seruku kepada Mark dan langsung berlari menuju ke kelas. Mark pun langsung kembali ke rumah.
“Gawat gawat, cepet Juju kamu bisa! Ayo cepat Juju!” aku menyemangati diriku sendiri yang kini sedang berlari di koridor ruang guru di lantai 1. Sekolahku terdiri dari 2 lantai, dan mempunyai banyak sekali ruang-mulai dari ruang guru, ruang TU, ruang kepsek, ruang kesehatan, perpusatakaan, dan beberapa laboratorium untuk masing-masing pelajaran-kelasku berada di lantai atas paling pojok sebelah kanan. Dan sekarang aku telah sampai di tangga, dan “Auuuuwww,” tanpa kusadari aku menabrak seseorang-atau mungkin orang itu yang menabrakku, aku tidak tahu-sampai aku dan orang tersebut jatuh.
“Punya mata gak sih?” seru laki-laki tadi.
“Eh, kamu tuh. Kalo jalan hati-hati dong!” sergahku sambil merapikan bajuku dan bergegas menuju ke kelas dan langsung meninggalkan laki-laki itu.
“Excuse me ma’am, I’m sorry I am late,” aku minta maaf kepada Bu Rena, guru Bahasa Inggris di sekolahku, SMA Pusaka Jaya. SMA Pusaka Jaya adalah salah satu SMA favorit di kotaku. Siswa-siswi disini harus melewati banyak tes untuk bisa masuk ke sekolah ini. Beratus-ratus pendaftar yang mengikuti tes, hanya 128 siswa yang diterima, dan aku beruntung bisa masuk ke sekolah ini.
“Ya, sit down on your seat, please. And never late again,” jawab Bu Rena lembut. Bu Rena adalah salah satu guru baik yang ada di sekolah ini. Selain baik, Bu Rena juga cantik, tak heran bila aku dan juga teman-temanku menyukai guru yang satu ini.
Tak lama setelah aku masuk ke kelas, seseorang mengetuk pintu kelas dan langsung masuk. Dia mendekati Bu Rena, setelah itu Bu Rena berdiri dan memperkenalkan orang asing yang barusan datang tersebut.
“Attention please!” Bu Rena mencoba meminta perhatian dari kami, murid-muridnya. “Guys, we had one new guy in this classroom,” Bu Rena menyampaikannya dalam bahasa Inggris, dia menoleh ke arah orang asing tersebut dan berkata lagi, “And please introduce yourself to your friends, boy.”
“Namaku Jacob Davidio Victor, panggil aja Jake. Nice to know you,” Dia memperkenalkan dirinya secara singkat.
“Kayaknya pernah ketemu dia deh, tapi dimana ya?” aku menatap sekilas wajah laki-laki itu. “Haaah? Dia kan cowok yang tadi aku tabrak! Huh, hari ini aku apes banget sih..”
“Thank’s Jacob. You may sit on your seat,” Bu Rena mempersilahkan Jake untuk duduk. Bu Rena melihat sekeliling kelas dan menjatuhkan pandangan ke arah bangku di sebelahku. Kebetulan teman sebangkuku tidak masuk hari ini-sedangkan bangku yang lain sudah berpenghuni semua-maka Bu Rena menyuruh Jake duduk disebelahku. Aaaa!! Benar-benar apes! “Jake, silahkan duduk di bangku yang kosong tersebut,” sambung Bu Rena.
“Iya Bu, terimakasih,” jawabnya singkat. Dia memang bukan tipe orang yang banyak omong. Sepertinya dia agak galak dan tidak suka bercanda, aku tahu itu dari tatapannya yang serius. Setelah disuruh Bu rena untuk duduk, segera ia menuju ke arahku, meletakkan tas punggungnya dan duduk tepat disampingku.
Aku banyak mendengar bisikan dari teman-teman, terutama yang cewek. “Wua, cakep banget.”
“Beruntung banget ya si Juju, bisa duduk sebangku sama Jake.”
“Keren banget…” dan banyak lagi.
Selama jam pelajaran, tak satupun dari kami berdua mencoba untuk menyapa. Pelajaran-pelajran hari ini berlalu sangaaaaaat lama lama lama lama lama lama lama. Aku memandang arlojiku, pukul 13.25. Lima menit lagi bel pulang dibunyikan.
“Huuuuuufftt, lama banget sih..”
Jake menatapku seolah bertanya ‘ngapain ngomong sendiri?’ atau ‘dasar cewek gila, ngomong sendiri’. Aku pun menjawabnya dengan tatapanku, aku menoleh ke arahnya dan melemparkan senyum seolah meminta maaf dan seolah berkata ‘harap maklum’.
“Diiiiit diiiit diiittt diiiit diiittt.” Bel sekolah berbunyi lima kali, itu pertanda bahwa pelajaran hari itu telah usai. Dengan sigap aku merapikan buku yang berserakan di meja, ”Eh, ada liat pulpenku gak?” tanyaku kepada teman-temanku sambil mencari-cari pulpennya ke dalam laci dan di lantai.
“Nih,” Jake, murid baru itu memberikan pulpen yang kucari.
Aku menatapnya, “Pulpenku?”
Dia tidak membalas pertanyaanku. Dia lalu membereskan bukunya yang berserakan di meja.
“Dia memang benar-benar cowok yang nyebelin!” eluhku dalam hati.
Hari ini memang hari yang menyebalkan..
………………………
Malam ini aku main PS bersama Mark. Wajahnya manyun, kali ini aku mengungguli pertarungan.
“Mark! Juju! Cepat ganti baju kalian. Malam ini kita akan makan malam di rumah Tante Julia,” Ayah berteriak dari kamarnya. Aku dan Mark yang sedang asik main PS terhenti karna ‘pemberitahuan’ Ayah.
“Apa? Makan malam di rumah Tante itu? Gak mau!” jawabku singkat dan melanjutkan permainan kami yang tadi tertunda. “Aku dan Mark gak mau ikut!” aku menoleh ke arah Mark, “Ya kan Mark?”
“Juju, ikut aja deh, mumpung aku lagi lapar nih. Ini Cuma sekali aja kok. Nanti kalo kita diajak lagi kita gak usah ikut,” Mark menjawab santai.
“Ha?”
“Ayo cepat ganti baju,” dia menghentikan permainan yang dari tadi kami mainkan.
Dengan berat hati aku menuju ke kamar, setelah itu aku memilih-milih gaun yang bagus untuk dikenakan ke acara makan malam Tante Julia. Akhirnya aku memutuskan untuk mengenakan gaun biru laut yang dulu ayah belikan sebagai oleh-oleh dari Paris. Aku baru sekali menganakan gaun tersebut, aku mengenakannya pada waktu menghadiri acara ulang tahun Felish tahun lalu. Gaun tersebut terlihat sederhana, dengan hiasan bunga di bagian bawahnya. Walaupun terlihat sederhana, gaun tersebut melambangkan keanggunan seorang wanita. Setelah berhias, aku langsung turun ke bawah. Disana Mark sudah berpakaian rapi, dia mengenakan kemeja coklat muda polos dan jeans hitam. Sedangkan Ayah? Ayah terlihat rapi, dan wangi. Setelah semuanya siap, kami semua langsung berangkat menuju ke rumah Tante Julia.
“Selamat malam Julia! Selamat malam Mark!” Tante Julia menyapa aku dan Mark ketika kami sampai di depan rumahnya. Wanita itu menyambut kami dengan ramah.
“Malam juga Tante..” Mark membalas sapaan wanita itu, sedangkan aku hanya membalasnya dengan senyuman. Setelah itu kami dipersilahkan masuk dan langsung menuju ke ruang makan. Rumah Tante Julia lumayan besar, hampir sama besarnya dengan rumah kami. Perabotnya indah-indah, aku menyukainya. Selera Tante Julia sama denganku. Aneh! Kami memiliki banyak persamaan! Pertama, nama kami sama. Kedua, wajah kami mirip. Rambutnya juga sama dengan rambutku, ikal mayang. Ketiga, selera kami sama. Mungkin gara-gara kesamaan ini Ayah jadi jatuh cinta kepadanya. Ibuku yang meninggal 10 tahun lalu juga mirip denganku, eh salah, aku yang mirip ibuku.
Kami sudah sampai di ruang makan Tante Julia. Makanan yang terhidang sangat banyak, dan tentunya terlihat enak. Meja makannya terdiri dari 6 kursi. Tiga kursi terdapat di bagian sebelah kanan, dan tiganya lagi terdapat di bagian sebelah kiri. Tante Julia duduk bersebrangan dengan Ayahku. Sedangkan aku dan Mark duduk sejajar di samping Ayahku.
“Maaf Ma, telat,” seorang laki-laki menghampiri kami dan duduk di samping Tante Julia.
“Jake!” aku berteriak kecil terkejut melihat laki-laki yang duduk di samping Tante Julia.
“Kamu?” Jake juga bereaksi sama seperti aku.
“Jake? Julia? Kalian udah saling kenal?” Tante Julia menoleh ke arahku dan Jake.
“Iya, Ma, dia teman sebangku Jake,” dia menoleh ke arahku dan meminta pertolongan untuk menjelaskan kepada Mamanya.
“Eh, iya Tante.. Dia teman sebangku Julia. Baru tadi pagi sih..” jawabku.
Kami melanjutkan makan malam dan menikmatinya. Masakan Tante Julia sungguh luar biasa! Mark sampai-sampai ketagihan dan berkata bahwa dia akan datang jika Tante Julia mengundang untuk makan malam lagi, padahal Mark bilang bahwa kami berdua-aku dan Mark-hanya akan datang kali ini saja. Mark memang plin-plan!
Aneh. Selama makan malam, Jake terlihat senang, ceria, ramah, tapi? Mengapa di sekolah dia terliat begitu pendiam dan serius? Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku tidak tahu. Lagipula aku baru sehari mengenal dia. Entahlah, hatiku berkata ada yang disembunyikan dari Jake…
……………………
Hari ini hari Minggu. Matahari begitu cerah. Aku berencana mengajak Felish ke taman pusat kota. Aku mengambil ponsel di saku celanaku. Belum sempat aku memencet tombolnya, ponselku berdering. Telpon dari Felish!
“Felish?”
“Juju, bisa kita ketemu sekarang? Ada hal penting yang mau kuomongin. Mungkin ini terakhir kali kita ketemu.”
“Felish? Mau ngomongin apa? Terakhir kali gimana? Aku gak ngerti,” jawabku bingung dengan apa yang disampaikan oleh Felish.
“Nanti aku jelasin, sekarang kita ketemuan di kafe biasa ya. Dah sayang.”
“Iya iya, aku ke sana sekarang. Dah juga,” segera aku menutup telfon dari Felish dan langsung ke luar rumah. Tanpa pamit pada siapapun, aku langsung menyetop taksi yang lewat di depan rumah.
Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju ke kafe langganan kami. Kafe Gracious, kafe tempat dimana aku dan Felish menghabiskan waktu bersama. Kafe ini tidak jauh dari rumahku, hanya sekitar tiga kilometer, jadi hanya beberapa menit saja menggunakan taksi aku sudah sampai di kafe Gracious.
Setelah membayar taksi, aku membuka pintu kafe dan mendapatkan Felish yang sudah menungguku di meja biasa, meja paling pojok. Felish, dia terlihat sedih, mata coklatnya yang indah tampak berkaca-kaca. Aku segera menghampirinya.
“Felish? Ada apa?” aku duduk di sampingnya, memegang tangannya.
“Juju, aku dan keluargaku akan pindah, ke.. London..” mata indahnya menatap mataku dalam-dalam. “Aku gak akan kembali lagi ke Indonesia..” sambungnya, “Besok aku udah harus pergi, papa-mama baru bilang hari ini kalo kita sekeluarga akan pindah. Aku gak bisa nolak, papa-mama pindah karna urusan pekerjaan, dan kami akan tinggal disana,” jelasnya panjang lebar. Dia menggenggam tanganku erat.
“Aku ngerti Felish.. So, hubungan kita?” tanyaku pasrah. Aku gak tahu harus gimana lagi.
“Hubungan kita…… aku gak sanggup..”
“Aku tau.. Tapi gak mungkin sayang. Kita gak mungkin bisa ngejalanin hubungan kayak gini..”
“Jadi menurut kamu gimana? Apa kita pisah aja?” tanyanya lembut.
Aku menarik nafas dalam-dalam, “Mungkin ini belum saatnya untuk kita berdua. Oke, kita pisah…… Aku yakin, kalo kita jodoh, kita pasti akan ketemu lagi..”
“Humph, fine. Maybe you right.. Semoga kamu gak akan lupa denganku.” Dia mendekapku, “I will always love you, I hope you too..” dia mendaratkan kecupan di dahiku.
“Ya! Me too..” jawabku pelan.
Aku dan Felish sudah menjalin hubungan ini sejak 2 tahun lalu. Felish sangat perhatian padaku, dia juga pengertian, itu yang membuat aku jatuh cinta kepadanya. Dia lebih tua setahun dariku. Dia dewasa. Selalu mengerti keadaanku, aku mencintainya! Baiklah, mungkin jodoh kami hanya sampai disini. Aku percaya pada Tuhan, dia pasti mendapatkan seseorang yang lebih baik dariku. Begitupun aku.
Aku dan Felish sudah berada di kafe itu selama beberapa jam. Kami menghabiskan sisa waktu yang kami punya untuk mencurahkan segala hal yang tidak akan mungkin bisa kami sampaikan lagi besok dan selanjutnya.
Setelah menghabiskan waktu di kafe Gracious, kami memutuskan untuk pergi jalan-jalan keliling kota, setelah itu pergi ke pusat permainan, lalu pergi ke Mall, ke XXI untuk nonton bareng, dan banyak lagi. Hari itu kami menghabiskan waktu berdua.
Tak terasa, waktu cepat berlalu. Sekarang sudah pukul 09.00 malam. Setelah puas menghabiskan waktu bersama, Felish mengantarku pulang dengan motornya.
“Felish. Besok aku ikut mengantarmu ke bandara, boleh ya?” tanyaku setelah turun dari motor Felish.
“Maaf sayang, kamu gak boleh ikut..” nada suaranya sangat menyesal. “Aku berangkat pukul 03.00 pagi nanti. Kamu gak boleh ikut ya, aku takut kamu kenapa-napa kalo keluar jam segitu. Kamu di rumah aja ya. Aku bakal kasi tau kalo udah sampe di London, oke sayang?”
“Aku gak apa-apa kok keluar jam segitu..” jawabku dengan nada memelas.
“Udah, gak boleh sayang. Aku mohon, sekali ini aja kamu mau ngalah sama aku. Ya?” dia mendekapku dan sekali lagi dia mendaratkan kecupannya di dahiku.
“Oke, aku ngalah..” Aku melemparkan senyum ke arahnya.
Dia membalas senyumanku lalu mengenakan helmnya, “I love you.”
Setelah aku mengatakan ‘I love you too’, dia langsung menarik gas motornya. Aku terus memandang punggungnya yang perlahan menghilang. Rembulan mulai berlindung di balik awan malam, hari akan hujan. Setelah beberapa saat, hujan mulai turun. Aku segera masuk ke dalam rumah agar tak terkena rintik hujan. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku ke tempat tidur, he’s gone!
……………………
Aku turun dari mobil dan langsung meninggalkan Mark yang melongo melihatku. Aku melihat arlojiku, “Good job Mark! Belum terlambat, lima menit lagi!” aku berteriak ke arah Mark. Mark tersenyum dan langsung melaju dengan mobilnya.
“Haaah! Gawat! PR Fisika belum dikerjain!” aku segera berlari ke kelas begitu menyadari bahwa tugas dari Pak Jo belum kukerjakan sedikitpun.
Ketika sampai di kelas, aku buru-buru mengeluarkan buku dan pulpen untuk menyalin tugas milik Fredi-temanku yang pintar yang sering meminjamiku tugas-tugas dari guru-dia adalah sang juara kelas.
Bel masuk berbunyi, aku langsung terkulai lemas dan pasrah. Tidak ada harapan lagi. Aku meletakkan buku dan pulpen yang tadi kupegang ke atas meja dan duduk.
“Nih,” Jake menyodorkan buku tugasnya kepadaku.
Aku langsung menerimanya dan segera menyalin semua yang ada di buku tersebut. Ternyata tugas yang diberikan hanya dua soal, tapi jawabannya dua lembar! Setelah sekitar lima menit aku menyalinnya aku langsung menyerahkan kembali buku milik Jake.
“Thank’s Jake! You is my hero!” seruku kepada Jake. “Oh iya! Namaku Julia, Julia Alisha Dharmawan Tirta.” Aku melemparkan senyum kepadanya. Dan tebak! Apa yang dia lakukan? Dia membalas senyumanku! Padahal selama ini dia belum pernah senyum kepada siapapun lho!
“Pak Jo datang!” Teriak Rafa, salah seorang temanku yang duduk di belakang bangku Jake. Rafa memang hobby keluar kelas dan mengintai setiap ada guru yang datang.
Benar saja! Hanya dalam hitungan detik, Pak Jo sudah berada didepan pintu kelas. Tapi aneh! Dia tidak membawa buku yang sering ia bawa sehari-hari. Dia masuk ke kelas, dan mulai bicara.
“Murid-murid, hari ini kita akan melakukan praktikum tentang materi yang telah kita pelajari kemarin, yaitu listrik dinamis. Saya akan membagi kalian menjadi 15 kelompok, satu kelompok terdiri dari dua orang. Baiklah, saya pilih kelompoknya menggunakan absen. Andhika Mulya, anda sekelompok dengan Arselia Saski.” Pak Jo langsung menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu. Setelah sampai di nomor urut 16, dia menyebutkan nama Jake, “Jacob Davidio Victor, anda sekelompok dengan Julia Alisha Dharmawan Tirta.”
“Pak, PR yang kemarin Bapak kasih gimana? Gak di koreksi ya Pak?” tanya Nola, cewek yang suka ceplas-ceplos.
Pak Jo hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, PR itu saya kasih ke kalian hanya sebagai latihan saja buat kalian. Tugas itu tidak saya koreksi.”
“Yaaaaah, kalo tau gini mendingan tadi gak usah dikerjain aja..” Aku memandang ke arah Jake yang dari tadi memperhatikan Pak Jo yang sedang menjelaskan tata cara praktikkum per kelompok.
Ternyata Jake mempunyai mata yang sama dengan Felish. Mata coklatnya sangat indah! Aku terus memperhatikan matanya. Aku jadi semakin teringat Felish yang sedang berada jauh di sana. Jake yang mulai menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya tiba-tiba saja menatapku. Aku memalingkan pandanganku ke arah Pak Jo yang masih menjelaskan di depan kelas. Malunya!
Pelajaran hari itu selesai. Bu Lany yang selesai menerangkan pelajaran Kewarganegaraan langsung keluar kelas setelah menyampaikan salam kepada siswa.
Aku bermaksud untuk mengajak Jake membicarakan masalah Ayahku dan Mamanya. Sekarang aku masih berada di sekolah. Aku sedang berada di koridor laboratorium Kimia. Aku tidak melihat Jake di sekitar sini, mungkin dia sudah pulang. Aku segera melangkah meninggalkan laboratorium Kimia. Ketika aku baru melangkahkan kaki, seseorang di belakangku berteriak ke arahku.
“Julia! Tunggu!”
“Jake? Ada apa?” tanyaku bingung, kenapa dia bisa ada di situ? Padahal tadi kukira dia sudah pulang.
Dia langsung berlari ke arahku. “Tentang tugas kelompok. Gimana?”
“Oh itu. Tugasnya dikumpulkan hari apa?” tanyaku yang segera dibalas dengan wajah bingung oleh Jake. “Hehe, tadi aku gak dengerin Pak Jo..”
“Minggu depan. Waktu kita hanya seminggu.”
“Besok aja ngerjainnya. Di rumahku.”
Dia langsung mengangguk dan pergi meninggalkan aku.
“Jake! Emangnya kamu udah tau di mana rumah aku?” tanyaku sedikit berteriak. Dia menoleh dan menggeleng, lalu mengangguk. Dasar cowok aneh!
……………………………
Angin bertiup lembut ketika aku duduk di kursi santai di taman belakang rumahku.
“Juju, ada yang nyariin kamu. Anaknya Tante julia..” Mark datang membawa seorang laki-laki.
“Oh, Jake.” Pantas saja Jake tidak menanyakan alamat rumahku, kan ada Tante Julia yang bisa memberitahu dimana rumahku.
Aku langsung mempersilahkan Jake duduk, setelah itu Mark pergi meninggalkan kami berdua. Aku baru ingat, aku harus membicarakan tentang hubungan orang tua kami!
“Jake, aku harus tanya sesuatu sama kamu.” Aku memulai pembicaraan yang sama sekali tidak menyangkut dalam bahasan tugas kelompok yang rencananya dilakukan hari ini.
“Apa?” tanyanya sambil memandangku.
“Please, jangan marah,” pintaku. “Jake. Sebenarnya aku gak setuju kalo Ayahku nikah lagi.”
Dia menatap mataku lekat-lekat. Mata indahnya bertemu dengan mata biru-ku yang juga menatapnya.
“Oke, aku juga,” jawabnya singkat.
“Umm, bisa bantu aku?”
“Membatalkan rencana pernikahan orang tua kita?”
“Ya!”
“Aku gak tau. Dan aku gak bisa.”
“Kenapa? Bukannya kamu gak setuju juga?” tanyaku sambil menatapnya bingung. Dia berkata bahwa dia tidak setuju, tapi dia tidak mau membatalkan rencana pernikahan orang tua kami. Jake benar-benar aneh! Nyebelin! Gak konsisten!
“Aku gak bisa ceritain ini ke kamu.” Dia mengalihkan pandangannya.
“Harus bisa!”
Dia tidak menjawab.
“Oke. Aku gak bisa nyuruh Mamaku batalin rencana pernikahannya. Sebenarnya aku ini anak angkat. Aku bukan anak kandung Tante julia! Makanya aku gak berhak ngelarang Mamaku, atau Tante Julia untuk nikah lagi.” Mata indahnya mulai berkaca-kaca.
Aku gak pernah kepikiran seperti itu. Ternyata Jake bukan anak kandung Tante Julia!
“Karna itu kamu sering terlihat murung? Di sekolah, kamu selalu menyendiri. Tapi, ketika kamu berada di rumah, kamu tampak ceria, tapi wajah ceriamu itu tampak dipaksakan.”
Dia mendekat ke arahku, dan tangannya meraihku, dia mendekapku. Air matanya jatuh tak tertahankan.
“Aku baru menyadari kalau aku anak angkat pada waktu aku baru pindah. Aku tak menyangka selama ini aku adalah seorang anak angkat. Padahal, aku merasa aku adalah anak kandung Tante Julia! Tante Julia sangat menyayangiku! Aku, aku.. aku gak berhak buat ngelarang Tante Julia nikah sama Ayah kamu! Sebab, sebab aku bukan anak kandungnya!” Dia yang menyadari kalau dia telah memelukku melepaskan dekapannya. “Maaf.”
Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Oke aku ngerti perasaan kamu sekarang. Gak apa-apa.”
Kami sejenak melupakan tugas kelompok yang rencananya akan dibahas hari ini.
“So? Please, anggap aja kalo kamu memang benar-benar anak kandung Tante Julia. Anggap aja kamu gak tau bahwa kamu anak angkat. Oke?” Aku tersenyum ke arahnya. Ternyata dia selama ini sedang memendam rahasia besar yang membuat dirinya sedih.
“Aku akan mencobanya. Thank’s Ju..” Dia membalas senyumanku. “Tapi.. ayahmu?”
“It’s ok.. No problem. Aku udah dapat jalan keluarnya!” Aku tersenyum puas.
………………………………
Hari ini Ayah pulang cepat, tidak seperti biasanya. Wajah Ayah terlihat serius. Ayah menghampiri aku dan Mark yang sedang heboh bermain PS. Sebelum Jake pulang, Jake juga sempat bermain PS bersama kami. Ternyata Jake yang sebenarnya adalah sosok cowok yang ramah, periang, dan baik hati.
“Julia, Mark, ayah mau ngomong sama kalian.”
“Ngomong apa ‘Yah? Soal rencana pernikahan Ayah?” tanyaku sambil tersenyum. Mark yang telah mengetahiu semuanya tentang Jake juga tersenyum.
“Ya..” jawab Ayah lemas.
“Aku dan Mark memutuskan……… Gak mau punya Ibu tiri..” jawabku yakin. “Apa Ayah sangat mencintai Tante Julia?” tanyaku sambil memiringkan kepala.
“Ya, sangat.” Ayah terlihat semakin lemas.
“Ayah. Aku dan Mark…… Gak mau punya Ibu tiri, kecuali………” aku menggantungkan kalimatku.
“Kecuali apa?”
“Kecuali yang jadi Ibu tirinya adalah Tante Julia!” Aku dan mark saling berpandangan. Ayah terlihat sangat bahagia.
Ayah memeluk aku dan Mark. “Terimakasih sayang. I love you..”
……………………………………
Hari ini hari yang bahagia, matahari bersinar begitu cerahnya. Aku sedang berhias di kamar. Aku mengenakan kebaya putih, rambutku juga disanggul. Aku melihat bayanganku di cermin. Di sana tampak seorang gadis yang tersenyum ke arahku, wajahnya dipoles bedak dan rangkaian make up lainnya. Gadis itu memakai atasan putih bersih, dan wajahnya yang ayu tampak bahagia sekali.
Hari ini akan ada peristiwa bersejarah keluarga Dharmawan Tirta. Hari pernikahan Ayahku, Ricky Dharmawan Tirta, dan calon istrinya, Julia Kurniawan, atau yang biasa kusebut Tante julia.
Aku keluar dari kamarku, dan berjalan menuju ke lantai bawah. Di lantai bawah, Mark telah menungguku. Kami akan pergi ke Masjid Al-Hidayah, tempat di mana akan dilangsungkannya pernikahan Ayahku dan Tante Julia.
“Juju, cepetan dong. Udah jam berapa nih.. Kita udah telat.” Dia yang melihatku sudah turun, langsung menuju ke garasi.
“Tiiit tiiitt..” terdengar suara klakson mobil Mark dari luar.
“Bentar!” Aku langsung keluar dan masuk ke mobil.
Kami melaju!
Sesampainya di tempat yang kami tuju, Masjid Al-Hidayah. Kami langsung buru-buru masuk ke dalam masjid.
“Saya terima nikahnya, Julia Kurniawan binti Fadli Kurniawan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Ayahku mengucapkannya dengan tegas dan yakin. Dia tersenyum ke arahku dan Mark yang duduk di sebelah Jake. Kami pun membalas senyuman ayah.
“Bagaimana semuanya? Sah?” Tanya Pak Penghulu yang menikahkan Ayah dan Tante Julia.
“Sah.”
“Ya, sah.” Terdengar sahutan dari orang-orang sekitar kami.
“Sah,” jawab aku, Mark, dan Jake bersamaan.
“Baiklah, silahkan kedua mempelai bersalaman..”
……………………………
Seminggu setelah pernikahan Ayah dan Tante, eh Ibu. Ayah dan Ibu masih berada di Paris. Sebenarnya Ayah dan Ibu mengajak aku, Jake, dan Mark untuk pergi bersama. Tapi kami menolak, kami tidak ingin acara HoneyMoon mereka terganggu. Tadi pagi Ayah menelponku, dia berkata bahwa hari ini mereka akan sampai di Indonesia.
Aku, Mark dan Jake sekarang berada di Pantai. Kami menghabiskan hari Minggu kami dengan jalan-jalan ke Pantai. Aku mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Mark mengenakan kemeja pantai dan celana jeans pendek. Jake juga mengenakan kemeja pantai.
“Jake, jagain Juju ya! Kakak mau jalan sama dia sebentar,” Mark menunjuk seorang cewek di sampingnya. “Nanti kakak kembali, kita ketemu di sini lagi ya!” dia melihat erlojinya, “Satu jam lagi!” Dia lalu pergi meninggalkan aku berdua dengan Jake.
“Ya kak!” Jake menjawabMark yang sudah agak jauh dari tempat kami berada.
Sepeninggal Mark, kami hanya saling berpandangan.
“Kita berhasil Jake! Kamu udah bisa ngelupain masalah itu! Kamu udah menjadi dirimu lagi. Gak nyebelin kayak waktu itu.” Aku memandang Jake.
“Ya! Thank’s ya Juju. Ini semua berkat kamu.” Dia menarik tanganku dan berjalan ke arah utara Pantai. “Ayo kita ke kafe sana! Aku lapar, kamu pasti lapar juga kan?” Dia menunjuk sebuah kafe yang dipadati pengunjung. Sepertinya enak!
“Ya!”
Aku mengikuti langkah kakinya dan tiba di sebuah kafe bernuansa Bali. Dari dalam kafe tersebut terdengar lagu Lady Diana, ‘When You Tell Me That You Love Me’. Iramanya mengalun lembut menghibur telinga kami.
Aku dan Jake duduk di meja paling pojok. Aku jadi teringat Felish. Kami berdua selalu duduk di meja bagian pojok. Humph, I miss you Felish.. do you miss me?
“Mas mas,” Jake memanggil salah satu pelayan yang berada di dekat meja kami. Laki-laki tersebut datang menghampiri kami dan mencatat semua pesanan kami. Aku memesan ayam saus rica-rica dan Lemon Tea, sedangkan Jake memesan ayam panggang spesial dan jus alpukat. Seleranya sama dengan Felish! Aku jadi semakin teringat Felish!
Makanan yang kami pesan sudah dihidangkan di meja kami.
“Terimakasih mas..” aku melemparkan senyumku kepada pelayan tersebut. Pelayan itu pun membalas senyumku dan meninggalkan meja kami. Aku dan Jake langsung melahap makanan yang tadi diantarkan oleh pelayan.
“Juju,” Jake memandangku.
Aku berhenti mengunyah dan balas memandangnya, “Ya. Ada apa Jake?”
“Gak, bukan apa-apa..” Dia kembali memakan ayam yang tadi di pesannya.”
Aku meletakkan tanganku ke atas tangannya, “Jake, aku tahu ada yang sedang kamu sembunyiin dari aku. Kamu terlihat gugup Jake.. Sekarang coba kamu ceritain ke aku, apa masalahmu? Siapa tahu aku bisa bantu.”
Dia menarik nafas panjang, “Juju, makasih atas perhatian kamu ke aku. Tapi aku gak bisa ceritain ini ke kamu..”
“Kamu pasti bisa Jake.” Aku semakin menggenggam tangannya.
“Juju.. Aku.. aku. Selama ini, aku.. Aku sayang sama kamu.” Tangannya berbalik menggenggam tanganku.
“Iya, aku juga sayang sama kamu Jake. Aku sayang Mark. Aku sayang Ayah, Ibu, semuanya.”
“Bukan itu maksudnya Ju.. Aku sayang sama kamu bukan hanya sebatas kakak-adik, aku sayang sama kamu.. Aku, ingin jadi pacar kamu..” Mata indahnya bertemu dengan mataku.
Aku tak bisa menahan perasaan rinduku kepada Felish. Semakin aku mamandang mata indah milik Jake, aku semakin teringat Felish, Mereka berdua memang mirip!
“Jake.. Aku, aku juga merasakan hal yang sama.”
“Really? Juju, I love you..” Dia mendekapku. Aku membalas dekapannya.
“Me too, Jake..”
Dia mengambil sesuatu dari saku celananya yang lumayan besar.
“Ini.. kamu ingat komik ini?” Dia menunjukkan sebuah komik. Di sampulnya tergambar sepasang remaja yang serasi.
“Kamu? Kamu cowok itu?” tanyaku penasaran.
Dia lalu tersenyum dan berkata “Ya! I’m sorry.. Maaf ya. Waktu itu aku lagi bad mood, dan komik itu udah lama aku incar..”
“Ya, it’s ok.”
“Komik ini untuk kamu.. Ambillah..”
“Wuaaa! Makasih ya Jake!” Aku lalu mendekapnya.
Kami akhirnya menjalin hubungan ‘pacaran’. Aku tahu ini mungkin aneh, tapi gak salah kan? Jake bukan anak kandung Ibu, jadi tidak ada hubungan darah antara Ibu dan Jake.
“Oh ya! Mark sudah menunggu kita! Ayo kita susul Mark!” seketika Jake teringat janji kami bertiga.
“Ya!” Kami pun berlari ke tempat yang kami janjikan. Dengan wajah kesal, Mark menunggu kami sendiri di tempat itu. Setelah kami bertiga bertemu, kami pun pulang. Tentunya dengan hati senang!
…………………………
Pukul 08.35. Bel pintu rumah berbunyi. Segera aku berlari dari ruang keluarga menuju ke ruang tamu. Pasti Ayah dan Ibu!
“Sayang!” Ibu menyapa aku dan Mark dan Jake dengan wajah lelah, tapi penuh kebahagiaan.
“Ibu! Oleh-olehnya mana?” Tanyaku bercanda.
“Ahahaha, ada. Banyak. Ibu beliin julia baju fashion yang lagi ngetrend di Paris! Ibu beli buaaannnyaaaak banget buat Juju,” jawab Ibu sambil memelukku. Maklum, aku anak yang paling muda, bungsu maksudnya. Jadi, aku yang paling disayang, ehehe.
Setelah semuanya sudah berkemas, kami sekeluarga berkumpul sambil melihat-lihat oleh-oleh yang dibawa Ayah dan Ibu dari Paris.
“Ibu, boleh gak aku pacaran?” tanyaku kepada Ibu yang dari tadi memperlihatkan oleh-oleh yang dibelikannya untukku.
“Boleh dong sayang..”
“Kalo gitu, sekarang aku mau ngenalin pacar aku ke Ayah sama Ibu.”
“Sekarang?” semuanya terkejut melihatku, kecuali Jake.
“Siapa pacar baru kamu Juju?” tanya Mark yang terlihat kaget.
“Dia.” Aku menunjuk Jake.
“Jake?” Ayah, Ibu, dan Mark kaget mendengar apa yang barusan kuucapkan.
“Ya, Jake bukan anak kandung Ibu kan? Jadi, gak ada salahnya dong kalo aku pacaran sama dia?” Jawabku sambil menoleh ke arah Jake.
“Juju sayang.. Darimana kamu tahu itu?” tanya Ayah yang dari tadi diam.
“Jake sendiri yang bilang ke aku. Dia baru tau kalo dia bukan anak kandung Ibu pada waktu Ibu menyuruhnya mengambil ijazah SMP-nya di tumpukan surat-surat penting milik Ibu . Waktu itu dia gak sengaja menemukan surat keterangan adopsi di bawah tumpukan ijazahnya.” Jelasku panjang lebar.
“Oh.” Mark manggut-manggut.
“Oke. Kalo gitu, mau diapakan lagi? Berarti kalian memang jodoh.” Ibu tersenyum ke arah kami semua. Kami pun berpelukan…………
Malam itu memang malam yang membahagiakan bagi kami, keluarga Dharmawan Tirta..
The End
P.S. This short story was written when I was in Senior High School, sorry kalo alay hahaha, cheers!